Sering
kita mendengar ucapan istilah penduduk,”Pribumi dan Non Pribumi” yang dapat
memecahkan belahan persatuan dan kesatuan bangsa.
BAB
X
WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
Pasal 26
Pasal 26
1. Yang menjadi warga
negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara.
2. Penduduk ialah warga
negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
3. Hal-hal mengenai warga
negara dan penduduk diatur dengan Undang-Undang.
Berdasarkan ayat-ayat di atas dikatakan pantaskan isu tersebut
dikemukakan? Bisa dikatakan isu inilah yang menjadi sumber masalah hampir di
setiap warga negara Indonesia yang berujung terjadinya pertumpahan darah antar
masyarakat dan menjatuhkan martabat nama baik Indonesia di mata dunia
Internasional.
Kata pribumi atau penduduk asli
memiliki arti yaitu setiap orang yang lahir di
suatu tempat, wilayah atau negara, dan menetap disana
dengan status asli yang diakui
sebagai suku bangsa bukan pendatang dari negeri lainnya. Istilah pribumi
ini ditujukan kepada setiap orang yang terlahir dengan orang tua yang juga
terlahir di suatu tempat tersebut . Sedangkan non pribumi yaitu bukan penduduk
asli suatu negara.
Contoh seseorang dikatakan pribumi dan non pribumi yaitu apabila terdapat sepasang suami-istri bernama Pak Raja dan Ibu Ratu yang bertempat tinggal di Bandung. Mereka berdua penduduk asli kota tersebut. Namun karena suatu alasan tertentu, mereka berdua pun memutuskan untuk pindah ke kota Virginia di Amerika Serikat. Disana Ibu Ratu melahirkan seorang anak yang diberi nama Christ. Christ tumbuh dan besar di Virginia. Pada akhirnya ketika umurnya sudah dewasa, Chirst menikah dengan seorang perempuan keturunan Indonesia yang terlahir juga di kota tersebut yang bernama Maria. Dari pernikah tersebut lahirlah seorang putra yang bernama Ryan masih di kota yang sama. Christ dan Maria membesarkan Ryan di Virginia, hingga pada akhirnya mereka berdua berniat untuk berkunjung ke kota asal dari orang tua Christ yaitu kota Bandung di Jawa Barat. Bersama dengan putranya, mereka pun tiba disana.
Dari contoh di atas memunculkan satu pertanyaan yaitu apakah Ryan
pantas dan layak untuk disebut sebagai warga pribumi disana? Sedangkan ia dan
ayahnya dilahirkan di Virginia, Amerika Serikat.
Jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah tanpa harus menanyakan
dimana mereka lahir pun, warga Bandung akan menganggap Christ dan Ryan sebagai
warga pribumi karena sudah terlihat dari penampilan fisik mereka berdua yang
memiliki wajah pribumi.
Penjelasan
ini sudah membuktikan tentang abu-abunya penentuan seseorang yang dianggap
sebagai pribumi atau non pribumi. Tapi bagaimana jika Bara adalah sebagai warga
Tionghoa yang memiliki sebidang tanah di suatu daerah di Indonesia warisan dari
nenek-moyangnya yang sejak zaman Hindia Belanda lahir besar dan tinggal di
Indonesia. Pantaskah Bara disebut sebagai seorang warga pribumi? Untuk menjawab
pertanyaan yaitu bisa kita artikan terlebih dahulu bahwa Seseorang disebut
sebagai WNI adalah jika ia telah diakui oleh Undang-Undang sebagai warga negara
Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk,
berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi. Kepada orang ini akan
diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia
telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Dari
penjabaran di atas dapat ditarik dua kata utama, yaitu Undang-Undang dan KTP.
Jadi seseorang harus diakui terlebih dahulu oleh Undang-Undang, lalu setelah
itu memiliki KTP, barulah bisa disebut sebagai Warga Negara Indonesia. Sedangkan
penduduk adalah orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut.
Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal disana.
Misalkan bukti kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain. Dari
pengertian ini dapat dimengerti bahwa kependudukan tidak sama dengan
kewarganegaraan. Dan hal ini pun sudah tertuang dengan jelas pada ayat nomor 2,
bahwa orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia pun disebut sebagai
penduduk.
Jadi, kembali kepada asas kemanusiaan dan hak-hak asasi yang
hakiki. Setiap orang berhak untuk tinggal dan hidup dimana pun mereka inginkan,
asal tidak menyalahi hukum dan Undang-Undang yang berlaku. Hal tersebut jelas
diperbolehkan. Dan isu mengenai ‘pribumi dan non pribumi’ ini pun sebenarnya
tidak perlu diperpanjang lagi. Karena selain dapat memecah belah persatuan dan
kesatuan bangsa, hal ini juga tidak memiliki dasar yang jelas dan masih
mengambang. Ingatlah dalam diri masing-masing yaitu satu slogan “Bhinneka
Tunggal Ika” dan berharap dapat menyadarkan bahwa betapa indahnya hidup bersama
di dalam perbedaan.
Apakah di Indonesia Ada
Penduduk Asli? Kalau Ada Dimana Domisilinya?
Indonesia memiliki
penduduk asli hanya terdiri dari dua golongan yakni Pithecantropus Erectus beserta manusia Indonesia purba lainnya dan
keturunan bangsa pendatang di luar Nusantara yang datang dalam beberapa
gelombang . Dilihat dari sejarahnya, beberapa juta tahun yang lalu wilayah Indonesia
telah dihuni oleh penghuni yaitu manusia purba dengan jenis kebudayaan batu tua
(mesolithicum) yang hidup secara semi nomaden. Ketika manusia Indonesia purba
tersebut datang dan menetap di suatu tempat, mereka tidak memerlukan tanah
sebagai modal untuk hidup mereka yang berpindah-pindah, melainkan melakun
pengumpulan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah
lembah-lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan
atau kerang (terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah
Nusantara di lembah-lembah sungai) walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula
yang memilih mencari di pedalaman. Lalu mereka akan pindah jika sudah tidak
mendapatkan lagi makanan. Manusia-manusia purba ini sesungguhnya lebih mirip
dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli Australia.
Mengapa Timbul Isu
Pribumi dan Non Pribumi
Isu pribumi dan pribumi
ditimbulkan karenakan pendidikan dan wawasan akan kesadaran berbangsa dan
bernegara masih belum masuk dan di hayati penuh sepenuhnya oleh masyarakat kita
atau pola pikir masyarakat yang masih menganggap bahwa dirinyalah yang terbaik
dan benar. Hal ini sangat disayangkan apabila terjadi. Seharusnya semboyan “Bhineka
Tunggal Ika” kita tanamkan dalam kehidupan bermasyarakat yaitu berbeda-beda tetapi satu jua. Secara mendalam
Bhineka Tunggal Ika memiliki makna walaupun di Indonesia terdapat banyak suku,
agama, ras, kesenian, adat, bahasa, dan lain sebagainya namun tetap satu
kesatuan yang sebangsa dan setanah air. Maka pertengkaran, bentrokan sesama manusia
dan pertumpahan darah tidak akan terjadi dan tidak akan memecahkan persatuan
dan kesatuan negara dan bangsa Indonesia serta meninggikan harkat martabat nama
Indonesia di mata Internasional.
Siapa yang Dimaksud Non
Pribumi
Non pribumi adalah
seseorang yang bukan penduduk asli. Contoh non pribumi yaitu seperti bangsa
arab, cina, negroid, melayu dan sebagainya. Namun menurut saya, tidak adanya
perbedaan antara warga pribumi dan non pribumi, karena melihat dari semboyan
bangsa Indonesia yaitu “berbeda-beda tetapi satu jua”.
Kenapa Istilah Non Pribumi yang Menonjol hanya pada Etnis Tionghoa
Adanya beberapa kasus
yang melibat beberapa warga tionghoa lebih menonjol yaitu seperti:
- Masa Orde Baru
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di
Indonesia, yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang
memberi ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan orde baru yang membasmi keberadaan
Komunis di Indonesia.
Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim Orde Baru melarang
segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan
adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal ini dituangkan ke dalam
Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di samping itu, masyarakat
keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang kuat dengan tanah
leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara Indonesia diragukan.
Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif terhadap masyarakat
keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial budaya. Di samping
Inpres No.14 tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat Edaran
No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu
disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi
nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono Salim.
Selain itu, penggunaan bahasa Cina pun dilarang. Hal ini dituangkan ke dalam
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978. Tidak hanya
itu saja, gerak-gerik masyarakat Cina pun diawasi oleh sebuah badan yang
bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan
Koordinasi Intelijen (Bakin).
- Etnis Tionghoa Masa Kini (Era Reformasi)
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan
perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki
bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha
Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun
itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat.
Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau
belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya
tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat
Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa
dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan
umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal
yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang
aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu,
kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara
Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa
Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran
dibandingkan pemimpin masa orde baru.Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie
melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan
Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula
diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi
untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada
umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada
adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina
dan lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres)
No 14/1967 yang melarang etnis Tihoa merayakan pesta agama dan penggunaan
huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan
Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan
budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres
Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang
Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai
kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak
wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan
kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa
ingin memperbaharui paspor dan KTP.
Saran untuk
Menghilangkan Isu Pribumi dan Non Pribumi di Indonesia
Indonesia terdapat banyak suku, agama, ras, kesenian, adat,
bahasa yang berbeda. Untuk menghilangkan isu tersebut sebaiknya kita sebagai
warga negara yang baik seharusnya bisa lebih memahami apa yang disebut dengan
semboyan “Bhineka Tunggal Ika”, menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat,
berpendidikan dan berwawasan
akan kesadaran berbangsa dan bernegara, berpola pikir masyarakat untuk tidak
menganggap bahwa dirinyalah yang terbaik dan benar, bersatu tanpa mempersoalkan
suku yang berbeda, agama yang berbeda dan keturunan yang berbeda, untuk
membentuk satu pemerintah yang adil dan bersih. Harapan untuk tidak memecahkan
persatuan dan kesatuan negara dan bangsa pun tidak akan terjadi dan meninggikan
martabat nama bangsa Indonesia di mata Internasional pun terbuka lebar.
Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar