PEMBELAJARAN DEMOKRASI DALAM RELASI PATRON-KLIEN PARTAI POLITIK DI INDONESIA


Quantcast
Relasi Patron-Klien pada Partai Politik di Indonesia
Beberapa bulan terakhir ini media massa banyak memberitakan mengenai penetapan seorang pimpinan atau tokoh  partai politik sebagai calon Presiden di 2014. Melihat gejala ini, penulis mulai berpikir tentang “siapa yang akan memimpin Indonesia selanjutnya?”. Antusias partai politik juga tampak sangat bergairah menyusul tidak akan majunya kembali Presiden SBY di tahun 2014. Ini mengindikasikan bahwa siapapun yang mencalonkan diri tidak akan memiliki lawan yang “terlalu tangguh” seperti SBY. Setidaknya ini adalah berita baik buat partai politik selain Partai Demokrat. Partai politik mulai “mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi (UU Partai Politik Pasal 7)”. Sebuah implementasi dari fungsi partai politik untuk mendorong demokrasi di negeri ini.
Tetapi, bila kita coba melihat struktur organisasi di Partai Politik di Indonesia serta bagaimana transformasi yang dijalani oleh mereka dalam dekade terakhir ini, maka saya menjadi bertanya kembali, benarkah partai politik menyiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan politik dan publik yang ada.
Ketika pemilu 1999 dan sebelumnya, Indonesia hanya mengenal adanya Ketua Umum partai politik sebagai jabatan tertinggi. Lalu saat pemilu 2004, Indonesia diperkenalkan dengan skema Dewan Pembina, Dewan Kehormatan, dan Majelis Syuro pada beberapa partai politik. Kini, kita bahkan mengenal Majelis Tinggi pada sebuah partai politik. Jabatan ini seakan-akan hanya untuk mengakomodasi tokoh sentral yang berada pada sebuah partai politik tersebut dan memastikan dirinya tetap menjadi pucuk pimpinan dari sebuah partai politik.
Konsep ini sama dengan apa yang dilakukan Lee Kwan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura yang menjadi Menteri Senior di era Goh Chok Tong dan kemudian diangkat menjadi Menteri Mentor ketika anaknya menjadi Perdana Menteri di Singapura. Pola ini seakan menegaskan bahwa Singapura adalah Lee Kwan Yew dan Lee Kwan Yew adalah Singapura.
Begitu pula dengan partai politik saat ini yang sangat kental dengan “identitas individual atau keluarga”. Sebutlah Partai Demokrat yang identik dengan keluarga Yudhoyono/Sarwo Edhie Wibowo, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang sangat melekat dengan keluarga “Soekarno”. Identitas Prabowo di Gerindra serta Wiranto di Hanura pun tak bisa begitu saja dilepaskan. Pada partai yang bertitel religius pun kondisi seperti ini terjadi, seperti Amien Rais di Partai Amanat Nasional, Abdurrahman Wahid di PKB, dan Himi Aminuddin/Anis Matta di PKS.
Dalam teori kepemimpinan Max Weber (1920), mengungkapkan tentang “kharismatic leadership”, konsep kepemimpinan tunggal yang mengakui seseorang memiliki kemampuan, daya pengaruh, ideologi serta kekuatan untuk mampu mengikat dan memastikan kelompok yang dipimpinnya selalu menjadikan dirinya sebagai rujukan dan pengambil keputusan terakhir dan tertinggi. Konsep kepemimpinan ini sangat cocok untuk kelompok yang berbasis kekeluargaan dan keagamaan. Seorang yang dinilai sebagai Charismatic Leader ini dinilai sebagai superhuman, ia adalah manusia terpilih yang memiliki kekuatan yang memang telah khusus diberikan untuk dirinya.

Keberadaan charismatic leader ini membuat partai politik bukan lagi sebagai tempat yang terbuka dan menjadi kesempatan untuk siapapun dapat mengekspresikan pemikirannya dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk memimpin. Melainkan telah bertransformasi menjadi sebuah ruang aktualisasi patron-klien yang sangat nyata.
Tokoh atau charismatic leader ini adalah sang patron, dan lingkar-lingkar terdekat adalah kliennya, dan para klien inti ini berperan sebagai patron untuk lingkar selanjutnya, dan begitu terus berkembang hingga hirarki di partai politik menjadi sangat berlapis (Jackson, 1981; Scott, 1993; Jarry, 1991 ) dan menjadi sangat sulit untuk ditembus oleh mereka yang tidak punya kedekatan kekeluargaan atau emosional dengan sang patron. Itu mengapa jangan heran bila saat ini kita dapat lihat di berbagai partai politik, anak-anak sang patron yang cenderung masih muda dan mentah dalam berpolitik telah ditempatkan di posisi strategis di partai politik. Merekalah para klientes utama yang akan menjadi patron selanjutnya.
Para klientes utama ini berusaha untuk terus memastikan posisinya kepada sang patron dan terus berusaha untuk memikat hati para klien-klien yang lain. Para klien lain tentu sadar bahwa masa depan mereka sangat ditentukan oleh sang Klientes utama. Mereka dijamin tidak akan mendapatkan posisi atau kekuasaan lain bila tidak terus “mendekat” dan “memikat” sang klientes utama.
Machiavelli (1513) dalam bukunya Il Principe menuliskan dengan sangat gamblang tentang relasi patron-klien ini sebagai sebuah upaya dari sang penguasa untuk melestarikan kekuasaannya. “…seorang penguasa yang bijaksana harus membangun kekuasaannya berdasarkan apa yang ia sendiri kuasanya dan bukan berdasarkan apa yang orang lain kuasai; ia harus berusaha agar ia tidak dibenci, seperti yang telah dicatat…..”. teori Machiavelli ini sangat dikenal seantero dunia dan telah menjadi rujukan dari banyak penguasa dunia untuk memastikan diri dan keluarganya dapat berkuasa untuk jangka panjang. Beberapa contoh nyata di dunia modern saat ini adalah Monarki Saudi Arabia, Keluarga Kim Jong Il di Korea Utara dan Klan Qaddafi di Libya.
Lebih lanjut Machiavelli juga menjelaskan bagaimana ulah para klien untuk memastikan mereka tetap dalam ikatan sang penguasa atau sang patron atau sang charismatic leader. “…Sudahlah hal yang lumrah bagi mereka yang ingin memenangkan hati seorang Pangeran harus menawarkan kepadanya hadiah-hadiah yang merupakan harta mereka yang paling berharga, harta yang mereka ketahui akan disukai sang Pangeran…”
Dampak Relasi Patron Klien terhadap Pembelajaran Demokrasi
Penulis melihat setidaknya terdapat 3 dampak dari relasi patron-klien ini terhadap pembelajaran demokrasi di Indonesia. Dampak ini bisa jadi belum cukup dirasakan oleh masyarakat Indonesia secara langsung, namun bila tidak ada mekanisme untuk mengubah pola relasi ini dengan segera, maka akan ada kemungkinan Demokrasi di Indonesia kembali mengalami kemunduruan di masa datang. Dampak-dampat yang terjadi antara lain :
1.    Lemahnya kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan politik di Indonesia
Berbagai diskursus mengenai lemahnya kaderisasi dan regenerasi kepemipinan politik di Indonesia terus mencuat dalam beberapa bulan terakhir ini. Komentar sinis ini lahir menyusul munculnya calon Presiden berusla lanjut dari beberapa partai politik. Pertanyaannya, “kemana yang muda?”. Bukankah kita telah melihat di media tentang keberadaan politisi muda yang memiliki kapasitas dan integritas. Namun mengapa mereka tidak yang dijadikan sebagai figur pemimpin politik bangsa. Anekdot berikut mungkin cocok untuk menjawab pertanyaan tersebut, “yang muda tidak akan berkuasa karena mereka tidak memiliki nama belakang yudhoyono, wahid, atau soekarnoputra/putri”.
Bila melihat sistem kaderisasi, tidak banyak partai politik yang benar-benar menyiapkan kaderisasi bagi anggota dan calon anggota. Kurikulum dan jenjang kaderisasi yang mapan seharusnya yang melandasi alur kaderisasi dan regenerasi sebuah partai politik. Sehingga seorang yang memang sudah memenuhi kapasitasnya layak mendapatkan tanggung jawab publik dan politik yang di fasilitasi oleh partai politik. Relasi patron-klien telah merusak konsep kaderisasi partai dan membuat arena kompetisi pemimpin muda terhambat. Bobroknya sistem kaderisasi dan regenerasi ini diperparah dengan fenomena “kutu loncat” yang sedang menjadi trend tersendiri dalam bursa “transfer” politisi di Indonesia.
Partai Golongan Karya yang saat pemilu 2004 membuat gebrakan baru dalam demokrasi, yakni dengan diadakannya sebuah konvensi di internal partai, akan tetapi budaya pembelajaran demokrasi yang positif tersebut dihapusnya dengan alasan tidak efektif.
Merujuk kembali ke era Romawi kuno, saat demokrasi sedang dikembangkan, dikenal seorang Negarawan yang pandai berorasi dan memiliki kapasitas politik yang besar, meski dirinya belum begitu dikenal oleh banyak orang saat itu, ia membuktikan kualitasnya dalam ajang pemilihan yang terbuka dan kompetitif. Negarawan muda ini memenangkan suara mutlak dan menjadikan dirinya sebagai Konsul di Romawi Kuno pada usia 27 Tahun. Sosok itu bernama Marcus Tullius Cicero.
Kisah Cicero yang dituliskan dengan sangat mengalir oleh Robert Harris (2008) dalam bukunya berjudul Imperium bisa jadi akan sangat sulit kita temui di Indonesia. Mereka yang muda bila tidak di dukung oleh Patron atau memiliki modal besar, tidak akan mungkin mengisi jabatan politik dan publik tertentu. Atau bisa jadi, memang tidak ada kompetisi yang memungkinkan politisi dan negarawan muda untuk membuktikan kapasitasnya.
2.    Matinya demokrasi berbasis gagasan dan berkembangnya demokrasi pencitraan dan transaksional
Relasi-patron klien telah mendorong mundurnya demokrasi dan politik gagasan diantara masyarakat dan politisi muda melalui ditutupnya keran mobilisasi vertikal melalui kompetisi yang berimbang bagi para anggota. Mereka yang dekat dengan Patron dan pusat kekuasaan akan mendapatkan akses pertama. Kondisi ini membuat para politisi muda tidak lagi bertarung dengan gagasan yang murni, melainkan dipenuhi dengan bumbu pencitraan dan transaksional.
Lahirnya money politics sebagai manisfestasi politik transaksional adalah pola yang terjadi saat ini di Indonesia. Bukan hanya partai politik, beberapa organisasi kepemudaan yang seharusnya juga menjadi pembelajaran demokrasi gagasan juga berubah menjadi praktek demokrasi transaksional. Politik transaksional ini tentu sangat merusak tatanan demokrasi, politik dan ekonomi di sebuah negara, karena perencanaan, pembangunan dan tata pemerintahan tidak lagi ditentukan oleh dialekta intelektual, melainkan dengan “dagang sapi” dan “potong kue” yang dilakukan
oleh para elit.
Dikaitkan kembali dengan buku Imperium (2008), Cicero saat itu melewati berbagai tantangan besar hingga fitnah besar terhadap dirinya dari para aristokrat Romawi yang merupakan klientes utama. Bahkan sang Patron Julius Caesar juga menjadi lawan politiknya saat itu, namun Cicero yang dicintai rakyat berjuang keras dan dengan berani membongkar persekongkolan untuk melucuti kekuatan demokrasi. Keberanian inilah yang membuat dirinya dipercaya oleh 193 centuria (kelompok/kubu/faksi) di Romawi untuk menjadi Konsul mereka.
Indonesia saat ini menantang para politisi muda untuk dapat menjadi Cicero-nya nusantara dengan berani melawan kebuntuan demokrasi di Indonesia dengan cara yang elegan. Kemampuan dan keberanian para pemuda Indonesia untuk melahirkan dan menumbuhkembangkan politik gagasan akan sangat menentukan masa depan kualitas demokrasi di Indonesia. Pemilu 2014 adalah momen yang sangat prospektif bagi pemuda dan politis muda untuk menyatukan potensinya dan membuktikan bahwa mereka dicintai dan mencintai rakyat Indonesia, perlu kita ingat bersama bahwa Ir Soekarno menjadi Presiden negeri ini saat usia 44 tahun.
3.    Masyarakat menjadi komoditas demokrasi praktis
Lagi-lagi masyarakat selalu menjadi korban dari demokrasi yang tidak berkualitas di Indonesia. Relasi patron-klien telah menjadikan masyarakat sebagai komoditas yang diperjual belikan oleh para politisi untuk meraih kekuasaannya. Masyarakat pun tidak lagi memilih pemimpin negeri atas dasar kapasitas dan integritas, melainkan dengan hanya pertimbangkan pencitraan dan juga istilah “wani piro?” atau berani bayar berapa untuk sebuah suara masyarakat.
Masyarakat pun tak punya banyak pilihan untuk mempertimbangkan sebuah keputusan politik bagi dirinya dalam berkontribusi untuk masa depan bangsa. Ia hanya dihadapi pada pilihan “uang” dan “citra”, bukan pilihan yang memberikan pembelajaran demokrasi bagi masyarakat. Sehingga mereka melihat demokrasi sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan kaos baru, spanduk untuk alas tidur, makan siang gratis hingga bagi-bagi uang untuk melanjutkan hidup.
Apakah masyarakat dapat disalahkan dalam hal ini ? tentu tidak, karena memang itulah yang mereka dapatkan dari suguhan demokrasi yang dihidangkan oleh para penguasa yang mengklaim diri mereka sebagai wakil rakyat yang negarawan. Proses seperti ini bukan lagi sebuah pembelajaran demokrasi melainkan pembodohan demokrasi. Masyarakat bisa jadi kini tidak mengetahui indikator bagaimana demokrasi yang berkualitas seharusnya dijalankan. Ketiadaan komparasi ini membuat para patron dan klien nya dengan sangat leluasa memainkan irama demokrasi sesuai dengan kebutuhan mereka. Pada akhirnya rakyat yang selalu menjadi korban dari kesalahan pengelolaan sebuah negara.
Demokrasi Ala Indonesia
Mengakhiri tulisan ini, penulis tentu berharap adanya upaya yang dapat dilakukan oleh negarawan muda Indonesia untuk memutus tali relasi patron-klien dalam tubuh partai politik untuk kembali membangun demokrasi yang berkualitas bagi negeri ini. Demokrasi yang berkualitas tidak perlulah mengikuti atau menduplikasi konsep demokrasi yang berada di negara lain. Demokrasi di Amerika dan Singapura belum tentu cocok dengan demokrasi di Indonesia. Dosen penulis, Adenantara Dwicaksono, mengungkapkan “…demokrasi seperti sebuah tumbuhan, ia berkembang sesuai dengan lingkungan dan tanah tempat ia berada. Sebagai contoh Ubi Cilembu yang dapat berkembang dengan baik bila ditanam di Cilembu, begitu pula demokrasi yang akan menemukan pola dan skema masing-masing di negara yang berbeda…”.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Politik Patron Klien


Patron berasal dari bahasa latin yaitu “patronas” atau yang kita kenal dengan arti bangsawan, sedangkan klien berasal dari kata “cliens” yang berarti pengikut. Dalam bahasa Spanyol, istilah “patron” secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan, status, wewenang dan pengaruh besar. Sedangkan “klien” brarti bawahan atau orang yang diperintah.
            Selanjutnya, pola hubungan patron klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior) dan patron menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak buah, dimana bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun keluarga besar. Setelah itu, bapak harus siap menyebarluaskan tanggung jawabnya dan menjalin hubungan dengan anak buah secara personal, tidak ideologis dan tidak politis. Pada tahap selanjutnya, klien akan membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan kepada patron.
            Untuk pemahaman lebih lanjut mengenai pemahaman patron klien, berikut ini definisi yang dikemukakan oleh Lande dan Scott.
·         Menurut Lande, hubungan patron klien merupakan aliansi dua pribadi yang tidak sama, kekuasaan status atau sumber daya yang masing-masing menemukan suatu hal yang berguna sebagai anggota unggul seperti aliansi yang disebut pelindung dan kliennya disebut imferior.
·         Menurut Scott, hubungan dimana seorang individu yang lebih tinggi sosial ekonomis statusnya menggunakan pengaruh sendiri dan sumber daya untuk menyediakan perlingdunggan atau keuntungan atau keduanya untuk orang dari status yang lebih rendah atau klien yang pada bagiannya membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk layanan pribadi kepada orang tersebut.





            Pendapat yang hampir serupa juga diketengahkan oleh Palras, dimana menurutnya hubungan patron-klien merupakan suatu hubungan yang tidak setara, terjalin secara peroangan antara seorang pemuka masyarakat dengan jumlah pengikutnya. Selain itu, Paltras mengungkapan bahwa hubungan semacam ini terjalin berdasarkan atas pertukaran jasa, dimana ketergantungan klien kepada patronnya dibayarkan atau dibalas oleh patron dengan cara memberikan perlindungan kepada kliennya.

            Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat unsur pertukaran barang atau jasa yang terlibat dalam pola hubungan patron klien. Adapun asumsi yang diajukan oleh teori ini adalah bahwa transaksi pertukaran akan terjadi apabila kedua belah piak dapat memperoleh keuntungan-keuntungan dari adanya pertukaran tersebut.
           
            Sebagai seorang ahli yang berkecimpung dengan seputar patronase, Scott memang tidak secara langsung memasukan hubungan patron klien dalam teori pertukaran. Meskipun demikian, jika memperhatikan uraian mengenai gejala petronase, maka akan terlihat di dalam unsur pertukaran yang merupakan bagian terpenting dari pola hubungan semacam ini. Menurut pakar ilmu politik dari Universitas Yale Amerika Serikat, hubungan patron klien berawal dari adanya pemberian barang atau jasa yang dapat dalam berbagai bentuk yang sangat diperlukan oleh salah satu pihak bagi pihak, bagi yang menerima berkewajiban untuk membalas pemberian tersebut.
            Selanjutnya, agar dapat menjamin kontinyuitas hubungan patron-klien antar pelaku yang terdapat di dalamnya, maka barang atau jasa yang dipertukarkan harus seimbang. Hal tersebut mengartikan bahwa reward atau cost yang dipertukarkan seharusnya kurang lebih atau sama dengan nilainya dalam jangka panjang atau jangka pendek. Dengan demikian, semangat untuk terus mempertahankan suatu keseimbangan yang memadai dalam transaksi, pertukaran mengungkapkan suatu kenyataan bahwa keuangan yang diberikan oleh orang lain harus dibalas.
            Berdasarkan kenyataan ini, sekiranya jika ada yang mengatakan bahwa hubungan semacam ini sering kali disebut juga sebagai hubungan ‘induk semang-klien’, dimana di dalamnya terjadi hubungan timbal balik. Pada umumnya, induk semang adalah orang atau pihak yang memiliki kekuasaan dalam suatu masyarakat atau komunitas dan harus memberi perlindungan atau pengayoman semaksimal mungkin kepada klien-kliennya. Sedangkan sebaliknya, para klien harus membalas budi baik yang telah diberikan induk semang dan melakukan pembelaan terhadap pihak lain sebagai saingannya.
            Untuk semakin menguatkan hal tersebut, Gouldner mengatakan bahwa hubungan patron-klien adalah hubungan timbal balik yang bersifat universal dengan memiliki dua unsur dasar. Kedua unsur dasar tersebut adalah pihak yang dibantu seharusnya pihak yang membantu menolak pihak yang dibantu dan tidak menyakiti pihak yang telah membantunya. Menurut pakar ini, yang membedakan antara hubungan patron-klien dengan pemaksaan (coercion) yang terjadi karena adanya wewenang formal atau formal authority.
            Adanya norma timbal balik yang melekat pada hubungan patron-klien pada gilirannya mengisyaratkan beberapa fungsi. Di samping posisinya sebagai unsur pembentuk hubungan yang dinamakan hubungan patron-klien, ia juga berfungsi sebagai pembeda dengan jenis hubungan lain yang bersifat pemaksaan (coercion) atau hubungan karena adanya wewenang formal (formal authority). Pertukaran barang atau jasa yang seimbang  dalam hubungan patron-klien dapat mengarah pada pertukaran yang tidak seimbang.
            Pertukaran barang atau jasa yang terjadi dalam relasi ini dikarenakan orang yang memiliki surplus pada sumber-sumber atau sifat-sifat yang mampu memberikan reward cenderung untuk menawarkan berbagai macam pelayanan atau hadiah secara sepihak. Dalam hal ini, mereka dapat menikmati sejumlah besar reward yang berkembang dengan statusnya yang lebih tinggi dari kekuasaan ataupun orang lain. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa orang yang selalu menerima kemurahan hati secara sepihak harus menerima posisi sub-ordinasi yang berarti suruhan atau obyek.
            Adanya perbedaan dalam transaksi pertukaran barang atau jasa diakibatkan terdapatnya pihak yang berstatus sebagai superior di satu sisi dan pihak yang berstatus sebagai inferior di sisi lain berimplikasi pada terciptanya kewajiban untuk tunduk hingga pada gilirannya memunculkan hubungan yang bersifat tidak setara (asimetris). Hubungan semacam ini bila dilanjutkan dengan hubungan personal (non-kontraktual) akan menjelma menjadi hubungan patron-klien. Oleh karena itu, Wolf menekankan bahwa hubungan patron-klien bersifat vertikal antara seseorang atau pihak yang mempunyai kedudukan sosial, politik dan ekonomi yang lebih tinggi dengan seseorang atau pihak yang berkedudukan sosial, politik dan ekonominya lebih rendah. Ikatan yang tidak simetris tersebut merupakan bentuk persahabatan yang berat sebelah. Artinya cenderung kepada salah satu pihak.
            Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Scott, dimana seorang patron berposisi dan berfungsi sebagai pemberi terhadap kliennya, sedangkan klien berposisi sebagai penerima segala sesuatu yang diberikan oleh patronnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Scott yaitu:
“Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hubungan yang bernama patron-klien, yaitu pertukaran barang atau jasa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya yang memang diarahkan untuk tidak seimbang. Inilah yang menjadi ciri khas dari sebuah hubungan patron-klien. Jika terjadi sebaliknya, maka hubungan yang terjalin tersebut akan putus dengan sendirinya. Hal ini dapat berarti bahwa dalam pertukaran barang atau jasa yang dilakukan tersebut terdapat pihak yang dirugikan dan juga pihak yang diuntungkan”.
            Meskipun demikian, pendapat yang mengatakan bahwa pertukaran barang atau jasa yang terjadi dalam hubungan patron klien adalah tidak seimbang dan tidak menguntungkan yang pada dasarnya merupakan pandangan yang subyektif atau berdasarkan perspektif luar. Perspektif semacam ini dikemukakan karena hubungan patronase terlalu diperhitungkan dan dipertimbangkan secara ekonomis. Padahal jika diperhatikan secara lebih mendalam akan ditemukan sebuah kenyataan bahwa bukankah hubungan tersebut tidak akan terjadi kalau masing-masing pihak yang terlibat tidak diuntungkan. Atau dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hubungan semacam ini dapat terus berlangsung dalam kurun waktu yang lama karena para pelaku yang terlibat di dalamnya mendapatkan keuntungan. Berkaitan dengan hal ini, menurut Legg yaitu  nilai dari suatu barang atau jasa harus seimbang, dimana nilai barang atau jasa yang dipertukarkan tersebut ditentukan oleh pelaku atau pihak yang melakukan pertukaran, dimana ketika barang atau jasa tersebut semakin dibutuhkan maka ia akan semakin tinggi nilainya.
            Sebagai bentuk relasi antarmanusia dan antarkelompok manusia yang bersifat sosial-kultural, ternyata dalam kenyataannya, praktek patronase tak lepas dengan kepentingan ekonomi dan politik. Melalui perlindungan yang diberikan, patron berharap mendapatkan dukungan ekonomi dan politik secara langsung. Namun,  jika tidak mendapatkan apa-apa yang bersifat ekonomi dan politik dari kliennya, maka patron tidak akan memberikan perlindungan apa pun.
            Dalam kenyataan praksis, menurut Levinson & Melvin Ember, hubungan patron-klien yang terlihat sebagai suatu fakta sosial-kultural, dan hanya didasarkan pada perjanjian informal yang menjadi pembungkus halus dari hubungan sosial, politik dan ekonomi yang diwarnai ketidaksetaraan. Padahal, dalam hubungan yang diwarnai ketidaksetaraan peluang untuk terjadinya eksploitasi menjadi sangat besar.
            Seperti pola relasi lainnya,  hal-hal yang membuatnya agar tetap tumbuh dan berkembang, maka demikian pula dengan hubungan patron-klien yang banyak terjadi dalam beragam aspek kehidupan manusia. Scott menyebutkan tiga faktor yang menjadi penyebab tumbuh dan berkembangnya relasi patronase dalam suatu komunitas, yaitu: ketimpangan pasar yang kuat dalam penguasaan kekayaan, status dan kekuasaan yang banyak diterima sebagai sesuatu yang sah, ketiadaan jaminan fisik, status dan kedudukan yang kuat dan bersifat personal serta ketidakberdayaan kesatuan keluarga sebagai wahana yang efektif bagi keamanan dan pengembangan diri. Berbeda dengan Scott, Einsenstadt dan Loniger mengatakan bahwa keterbelakangan suatu komunitas bukanlah satu-satunya penyebab tumbuh dan berkembangnya suatu relasi patronase. Lebih lanjut kedua pakar ini mengungkapkan bahwa suatu masyarakat yang periphery-nya rendah sehingga sumberdayanya lebih banyak dikuasai oleh pusat dan suatu masyarakat yang berdasarkan konsep keagamaan di mana hanya kalangan tertentu saja yang dapat berhubungan dengan alam transcendental memang sangat rentan ‘terjangkiti’ oleh relasi patronase.
Ciri-ciri politik Patron Klien:
a.       Ketimpangan dalam pertukaran (patron dalam posisi yang lebih kuat dari klien)
b.      Bersikap tatap muka (saling mengenal, percaya, dll)
c.       Luwes dan meluas

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pembelian


Proses Keputusan Membeli
Menurut Kotler (2005) keputusan pembelian bisa disebut juga sebagai bagian perilaku konsumen yang memiliki tujuan yaitu untuk menentukan proses pengembangan keputusan dalam membeli suatu barang/jasa dimana individu terlibat secara langsung dalam mendapatkan dan mempergunakan barang/jasa yang ditawarkan tersebut. Keputusan pembelian dipengaruhi oleh ciri-ciri kepribadian seorang pembeli tersebut, termasuk usia, pekerjaan dan keadaan ekonomi.
Proses pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh konsumen melalui beberapa tahap yang disebut dengan proses pengambilan keputusan model 5 tahap (Kotler dan Keller, 2007), antara lain sebagai berikut:




1.      Pengenalan Masalah: yaitu konsumen mengenali adanya masalah atau kebutuhan. Kebutuhan itulah yang akan digerakan oleh rangsangan dari dalam maupun dari luar dirinya
2.      Pencarian Informasi: yaitu tahapan yang merangsang konsumen untuk mencari segala informasi lebih banyak mengenai suatu produk barang/jasa.
3.      Evaluasi Alternatif: yaitu konsumen menggunakan informasi untuk mengevaluasi merek alternatif dalam menentukan peringkat suatu produk barang/jasa untuk dipilih.
4.      Keputusan Pembelian: yaitu konsumen dipengaruhi oleh 2 faktor dalam keputusan pembelian antara lain faktor internal yang berkaitan dengan persepsi konsumen tebtang merek yang akan dipilih dan faktor eksternal adalah sikap orang lain dan situasi yang tak terduga.
5.      Perilaku Pasca Pembelian: yaitu kepuasan konsumen yang harus dipantau mulai dari pasca pembelian, tindakan pasca pembelian dan pemakaian produk pasca pembelian.

5.2 Memilih Alternatif Terbaik
Di dalam pengambilan keputusan, pengambilan keputusan pembelian harus memilih salah satu alternatif dari banyak alternatif. Hal ini guna untuk dapat melakukan pemilihan berdasarkan pada kriteria tertentu, kompromi, atau tekanan.

5.3 Memilih Sumber-sumber Pembelian
Di dalam pencarian sebuah informasi dapat dilakukan berdasarkan sifat aktif atau pasif, internal atau eksternal. Artinya yaitu pencarian informasi yang bersifat aktif dapat berupa kunjungan terhadap beberapa toko yang dilakukan guna untuk dapat membuat perbandingan harga dan kualitas produk, sedangkan pencarian informasi pasif yaitu hanya dengan membaca iklan di majalah atau surat kabar tanpa mempunyai tujuan khusus tentang gambaran produk yang diinginkan. Pencarian informasi internal tentang sumber – sumber pembelian dapat berasal dari komunikasi perorangan dan pengaruh perorangan yang terutama berasal dari komunikasi perorangan dan pengaruh perorangan yang terutama berasal dari pelopor opini, sedangkan informasi eksternal berasal dari media masa dan sumber informasi dari kegiatan pemasaran perusahaan.
1.      Sumber pribadi : keluarga, teman, tetangga, kenalan,
2.      Sumber komersial : Iklan, wiraniaga, agen, kemasan, pajangan,
3.      Sumber publik : media massa, organisasi penilai konsumen, dan
4.      Sumber pengalaman : penanganan, pemeriksaan dan menggunakan produk.

Contoh kasus:
Penulis menganalisis seorang konsumen yang berprofesi sebagai mahasiswa dalam menentukan pembelian produk minuman air mineral sebagai penunjang kegiatan perkuliahannya. Andi (20) sudah beberapa tahun belakangan ini mengkonsumsi produk minuman air mineral untuk kesehatan tubuhnya. Air merupakan salah satu kebutuhan yang terpenting dalam hidup, karena setiap manusia membutuhkan air bersih untuk hidup sehat. Di era modern seperti sekarang ini sangat sulit untuk bisa mendapatkan air bersih jika dibandingkan dengan di zaman dulu. Kebutuhan air bersih siap minum sekarang ini begitu sangat penting. Untuk mengatasi masalah perolehan air bersih, sehat, dan aman terdapat satu cara yaitu melalui cara memproduksi air mineral yang dibuat oleh perusahaan minuman. Sesuai kebutuhan dan keinginannya Andi harus melakukan pembelian pada produk minuman air mineral karena produk tersebut memiliki berbagai macam pilihan merek dan kualitas keunggulan yang berbeda-beda. Maka dari itu, konsumen harus memikirkan produk minuman air mineral manakah yang akan dipilih agar produk yang dibeli itu dapat memuaskan penggunanya sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Harga menjadi pengaruh penting dalam keputusan pembelian, artinya dengan harga yang terjangkau konsumen akan senantiasa membeli produk tersebut untuk mengkonsumsinya setiap hari. Namun harga yang murah belum tentu memberikan kualitas baik yang kita inginkan. Contoh produk minuman air mineral yang sering direkomendasikan oleh masyarakat untuk mengkonsumsinya yang sudah jelas memberikan kualitas baik dengan harga yang terjangkau yaitu AQUA. AQUA mulai diperkenalkan dengan air minum kemasan kecil yang berukuran 200 ml. Hal ini dilakukan agar konsumen dapat minum air bersih dengan harga yang tidak terlalu mahal. Kualitas dari AQUA ini tidak perlu diragukan lagi. Sebab sumber utama AQUA adalah air pegunungan yang kemudian diolah kembali oleh pabrik yang didirikan dekat kaki bukit gunung agar dapat lebih sterilisasi. Dalam pengontrolan mutu produksi, perusahaan yang memproduksi AQUA ini memiliki laboratorium yang modern, serta juga memiliki staf peneliti yang terdiri dari ahli mikrobiologi, kimia, dan fisika, sehingga AQUA telah diterima oleh WHO dan terdaftar di U.S Food and Drug Administration, Environmental Protection Agency dan International Bottled Water Organization.

Mengapa Andi lebih memilih produk minuman air mineral dibandingkan dengan air yang dimasak sendiri? Jawabannya adalah karena produk minuman air mineral lebih praktis dalam mengkonsumsinya sebab terdapat             berbagai macam ukuran kemasan sesuai dengan kebutuhan, serta harga yang sangat terjangkau dan sudah teruji klinis. Sedangkan air yang dimasak sendiri mungkin terlihat jernih, namun belum tentu bersih dari bakteri. Ini semua terjadi karena tidak semua bakteri bisa hilang jika hanya dipanaskan saja. Seharusnya kita melakukan penyaringan dan pengolahan yang tidak sembarangan dan teruji. Oleh karena itu, kita disarankan untuk mengkonsumsi minuman air mineral yang mempunyai kualitas terbaik dan bermanfaat bagi tubuh kita.

Kesimpulan dan Saran
Harga yang murah belum tentu kita mendapatkan kualitas yang baik untuk keinginan dan kebutuhan kita. Maka dari itu, sebelum melakukan pembelian suatu produk hendaknya kita mencari tahu terlebih dahulu keunggulan dan kelemahan terhadap suatu produk tersebut.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Evaluasi Alternatif Sebelum Pembelian

·         Kriteria Evaluasi
Kriteria evaluasi adalah suatu kegiatan dalam proses pengambilan keputusan konsumen yang memegang peranan penting dalam memprediksi perilaku pembelian konsumen. Dimana ketika konsumen melakukan kegiatan ini, konsumen sedang mempertimbangkan atribut-atribut yang ada pada satu produk, seta menilai atribut manakah yang lebih penting yang ia gunakan sebagai dasar keputusan dalam memilih suatu produk (Kotler, 2005).

·         Penentuan Alternatif  Pilihan
            Di dalam kriterian evaluasi terdapat dimensi atau atribut-atribut yang digunakan untuk menilai                         alternatif-alternatif pilihan. Contohnya saja seperti pembelian mobil oleh seorang konsumen yang                   memungkinkan ia mempertimbangkan kriterianya, keselamatan, kenyamanan, harga, merek, negara               asal (country of orign) dan aspek hedonik antara lain yaitu gengsi, kebahagiaan dan lain-lain. Kriteria             evaluasi  secara umum diantaranya sebagai berikut:
1.      Harga
Harga menentukan pemilihan alternatif, artinya konsumen akan lebih cenderung memilih harga produk yang murah yang diketahui spesifiknya.
2.      Nama Merek
Merek merupakan pengganti dari mutu/kualitas dan spesifikasi suatu produk, artinya kualitas pada produk merek lama akan memberikan kepercayaan pada konsumen yang dapat mengurangi resiko kesalahan dalam keputusan pembelian.
3.      Negara Asal (Country of Origin
Negara yang menghasilkan suatu produk menjadi pertimbangan penting dikalangan konsumen, artinya negara asal sering memberikan pencitraan kualitas produk, dimana konsumen tidak lagi meragukan kualitas produk dalam keputusan pembelian.
4.      Saliensi Kriteria Evaluasi
Konsep saliensi adalah pencerminan ide yaitu kriterian evaluasi memiliki pengaruh berbeda untuk konsumen yang berbeda dan produk yang berbeda, artinya kemungkinan seeorang konsumen mempertimbangkan bahwa harga adalah suatu hal yang penting.

Contoh kasus:
Di era globalisasi ini, sudah banyak sekali terjadi persaingan yang melanda dunia bisnis. Persaingan tersebut terjadi meningkat sangat tajam karena menjanjikan suatu peluang dan tantangan bisnis yang potensial bagi perusahaan yang akan ataupun yang sudah beroperasi di Indonesia. Persaingan ini pulalah yang menjadikannya sebagai tolak ukur bagi suatu perusahaan. Di setiap perusahaan pastilah memiliki merek yang berbeda-beda dengan perusahaan lainnya. Namun sering sekali kita jumpai bahwasanya merek yang berbeda, tapi produk yang dipasarkan di pasaran itu notabene sama. Contoh seperti merek “Aqua” dan “Ades”. Kedua merek tersebut sama-sama mengeluarkan produk minuman air mineral. Disinilah produsen dihadapkan pada persaingan yang sebenarnya. Persaingan yang sebenarnya ini adalah persaingan untuk meraih dominasi merek. Merek yang menjadi faktor terpenting dalam persaingan dan menjadi aset perusahaan yang bernilai tinggi.

Sebuah fenomena persaingan yang dialami oleh setiap perusahaan adalah bagaimana perusahaan menyadari akan suatu kebutuhan, serta aset perusahaan demi kelangsungan hidup perusahaan tersebut. Persaingan ini dipicu dalam dunia industri yang semakin tajam dengan selera konsumen yang selalu berubah-ubah. Selera konsumen yang berubah-ubah artinya adalah menuntut agar setiap perusahaan dapat bersikap fleksibel. Fleksibel dalam arti cepat dan mudah menyesuaikan dalam memasarkan produk dengan melihat kebutuhan dan keinginan konsumen saat ini. Dengan semakin ketatnya persaingan yang terjadi dalam dunia bisnis mengharuskan perusahaan  berusaha untuk menarik konsumen agar tetap membeli produknya. Perusahaan harus mengsiasati persaingan ini dengan strategi yang bermutu. Strategi untuk memenangkan hati konsumen dengan memperhitungkan tingkat kenyamanan konsumen pada saat berbelanja, promosi produk yang dapat menarik minat konsumen, ketersedian produk yang akan dijual, harga yang menarik, dan pelayanan yang baik. Semua strategi itu menjadi hal-hal yang sangat penting dalam persaingan di dunia bisnis. Tak heran banyak perusahaan yang muncul dan ikut dalam persaingan di dunia bisnis ini, serta kalah atau gagal dalam bersaing. Hal itu dapat terjadi karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu ikut bersaing dalam persaingan yang ada.

Perkembangan pada sektor industri makanan dan minuman di Indonesia ini semakin meningkat dan berkembang pesat. Apalagi khususnya di sektor industri minuman. Contohnya saja seperti air mineral yang sekarang ini banyak sekali merek yang diperjualbelikan di pasar. Hal ini membuat semakin ramainya perusahaan-perusahaan pada sektor industri minuman berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam menghasilkan produknya. Misal aqua, ades, oasis, nestle, dan masih banyak lagi. Tidak diragukan lagi ini adalah bukti bahwa persaingan yang terjadi sangat ketat. Oleh karena itu, tiap-tiap perusahaan harus memberikan kontribusi yang terbaik bagi konsumen. Kontribusi ini dilakukan untuk meyakinkan konsumen agar dapat menentukan atau memilih manakah merek minuman yang paling diminati oleh konsumen. Dengan demikian akan terjadi minat beli ulang yang dilakukan oleh konsumen terhadap suatu produk yang dianggap memiliki keunggulan terbaik dibandingkan dengan produk lainnya. Hal tersebut bisa dikatakan sebagai kesetiaan seorang konsumen terhadap suatu produk. Dari kesetiaan itulah maka akan tercipta rasa pencaya konsumen terhadap merek dari produk suatu perusahaan.

Air merupakan salah satu kebutuhan yang terpenting dalam hidup, karena setiap manusia membutuhkan air bersih untuk hidup sehat. Di era modern seperti sekarang ini sangat sulit untuk bisa mendapatkan air bersih jika dibandingkan dengan di zaman dulu. Kebutuhan air bersih siap minum sekarang ini begitu sangat penting. Untuk mengatasi masalah perolehan air bersih, sehat, dan aman terdapat satu cara yaitu melalui cara memproduksi air mineral yang dibuat oleh perusahaan minuman. Selain guna untuk tujuan kesehatan, minuman air mineral dirasa dapat menguntungkan karena masyarakat dapat merasakan kepraktisan dalam mengkonsumsinya sebab terdapat berbagai macam ukuran kemasan sesuai dengan kebutuhan, serta harga yang sangat terjangkau. Seiring pertumbuhan penduduk yang meningkat, kebutuhan akan air minum yang sehat pun ikut meningkat. Perusahaan yang bergerak dalam bisnis air minum juga semakin bertambah. Ini menyebabkan terjadinya perluasan jaringan dalam pemasaran, sehingga menciptakan tingkat persaingan dengan pesaing-pesaing lain semakin ketat. Kondisi ini menuntut setiap perusahaan untuk menciptakan kreatif, memberikan inovasi yang baik, dan mengembangkan suatu produk, ukuran, dan kemasan yang berbeda dengan produk lainnya sesuai kebutuhan konsumen, dipercaya konsumen, produk yang disukai konsumen, dan dapat bersaing dalam pasar. Kondisi tersebut tidak mudah untuk didapatkan. Hal ini dikarenakan setiap perusahaan harus mewujudkan tujuan memberikan kepuasan kepada konsumen dan memahami perilaku konsumen.

Dengan seiring berjalannya waktu, dalam mempelajari perilaku konsumen setiap perusahaan harus memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku itu sendiri. Faktor-faktor tersebut baik berasal dari faktor internal yaitu seperti sikap, kepribadian, motivasi, dan proses dalam belajar, serta faktor eksternal yaitu berupa faktor kebudayaan, keluarga, peranan, status, dan kelompok referensi. Di dalam manajemen pemasaran, sikap konsumen perlu sekali diteliti terhadap produk merek yang ditawarkan tersebut berhasil. Berdasarkan pandangannya, sikap ini dilakukan oleh konsumen terhadap produk. Sikap adalah salah satu penyebab seseorang berperilaku secara stabil terhadap suatu produk yang sama. Untuk mengetahui sikap konsumen terhadap produknya, setiap perusahaan perlu mengadakan suatu penelitian mengenai faktor-faktor yang ada pada produk agar dapat mendorong suatu motif pembelian tercipta. Salah satu cara dalam penelitian ini adalah dengan menganalisa persepsi terhadap harga, kualitas, merek, promosi , serta distribusi dari sebuah perusahaan tersebut. Distribusi perusahaan ini yaitu dapat memberikan nilai pada faktor-faktor yang belum sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Dari hasil penelitian inilah perusahaan dapat menyempurnakan dan mengembangkan produknya agar bisa lebih memuaskan konsumen secara maksimal. Dengan sikap konsumen yang diteliti ini perusahaan dapat memperoleh informasi yang berguna bagi manajemen pemasarannya.

Pada dasarnya masyarakat berfikir, untuk apa kita membeli air minum? Padahal kita dapat memasak air minum itu sendiri. Akan tetapi, air putih yang baik atau layak  diminum itu sebenarnya harus terhindar dari bakteri. Artinya meskipun kita sudah memasak air minum yang terlihat jernih dan bersih belum tentu air itu sudah terhindar dari bakteri. Ini semua terjadi karena tidak semua bakteri bisa hilang jika hanya dipanaskan saja. Seharusnya kita melakukan penyaringan dan pengolahan yang tidak sembarangan dan teruji. Oleh karena itu, kita disarankan untuk mengkonsumsi minuman air mineral yang mempunyai kualitas terbaik dan bermanfaat bagi tubuh kita. Hal ini sudah dibuktikan oleh merek produk minuman air mineral AQUA. Untuk dapat mengkonsumsi minuman air mineral ini cukup mudah dengan harga yang tidak mahal. Kondisi ini memungkinkan konsumen bisa setiap hari untuk mengkonsumsinya. Namun sebelum melakukan keputusan pembelian, konsumen sebaiknya mempertimbangkan apa sajakah kriteria evaluasi yang terdapat pada suatu produk tersebut. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa kriteria evaluasi secara umum menyangkut harga, nama merek, negara asal (country of origin) dan saliensi kriteria evaluasi.

Kesimpulan dan Saran

Di dalam persaingan bisnis yang terjadi ini menuntut strategi perubahan dan perbaikan secara perubahan dan perbaikan secara lebih baik dalam menghasilkan produk yang berkualitas tinggi dengan harga yang wajar dan bersaing. Faktor-faktor yang mempengaruhi tetap loyalnya atau berpindahnya konsumen dapat diketahui dari peringkat preferensi konsumen terhadap atribut-atribut yang paling dipertimbangkan yaitu:
1.      Harga
Harga menentukan pemilihan alternatif, artinya konsumen akan lebih cenderung memilih harga produk yang murah yang diketahui spesifiknya.
2.      Nama Merek
Merek merupakan pengganti dari mutu/kualitas dan spesifikasi suatu produk, artinya kualitas pada produk merek lama akan memberikan kepercayaan pada konsumen yang dapat mengurangi resiko kesalahan dalam keputusan pembelian.
3.      Negara Asal (Country of Origin
Negara yang menghasilkan suatu produk menjadi pertimbangan penting dikalangan konsumen, artinya negara asal sering memberikan pencitraan kualitas produk, dimana konsumen tidak lagi meragukan kualitas produk dalam keputusan pembelian.
4.      Saliensi Kriteria Evaluasi
Konsep saliensi adalah pencerminan ide yaitu kriterian evaluasi memiliki pengaruh berbeda untuk konsumen yang berbeda dan produk yang berbeda, artinya kemungkinan seeorang konsumen mempertimbangkan bahwa harga adalah suatu hal yang penting.


Sumber: http://rivaldiligia.wordpress.com/2011/12/14/evaluasi-alternatif-sebelum-pembelian/


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS