Patron
berasal dari bahasa latin yaitu “patronas” atau yang kita kenal dengan arti
bangsawan, sedangkan klien berasal dari kata “cliens” yang berarti pengikut. Dalam
bahasa Spanyol, istilah “patron” secara etimologis berarti seseorang yang
memiliki kekuasaan, status, wewenang dan pengaruh besar. Sedangkan “klien”
brarti bawahan atau orang yang diperintah.
Selanjutnya, pola hubungan patron
klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak
sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga
menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior) dan patron
menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Pola relasi
seperti ini di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak buah, dimana
bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun keluarga
besar. Setelah itu, bapak harus siap menyebarluaskan tanggung jawabnya dan menjalin
hubungan dengan anak buah secara personal, tidak ideologis dan tidak politis.
Pada tahap selanjutnya, klien akan membalas dengan menawarkan dukungan umum dan
bantuan kepada patron.
Untuk pemahaman lebih lanjut
mengenai pemahaman patron klien, berikut ini definisi yang dikemukakan oleh
Lande dan Scott.
·
Menurut Lande, hubungan patron klien
merupakan aliansi dua pribadi yang tidak sama, kekuasaan status atau sumber
daya yang masing-masing menemukan suatu hal yang berguna sebagai anggota unggul
seperti aliansi yang disebut pelindung dan kliennya disebut imferior.
·
Menurut Scott, hubungan dimana
seorang individu yang lebih tinggi sosial ekonomis statusnya menggunakan
pengaruh sendiri dan sumber daya untuk menyediakan perlingdunggan atau
keuntungan atau keduanya untuk orang dari status yang lebih rendah atau klien
yang pada bagiannya membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan,
termasuk layanan pribadi kepada orang tersebut.
Pendapat yang hampir serupa juga
diketengahkan oleh Palras, dimana menurutnya hubungan patron-klien merupakan
suatu hubungan yang tidak setara, terjalin secara peroangan antara seorang
pemuka masyarakat dengan jumlah pengikutnya. Selain itu, Paltras mengungkapan
bahwa hubungan semacam ini terjalin berdasarkan atas pertukaran jasa, dimana
ketergantungan klien kepada patronnya dibayarkan atau dibalas oleh patron
dengan cara memberikan perlindungan kepada kliennya.
Berdasarkan beberapa pemaparan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat unsur pertukaran barang atau jasa
yang terlibat dalam pola hubungan patron klien. Adapun asumsi yang diajukan
oleh teori ini adalah bahwa transaksi pertukaran akan terjadi apabila kedua
belah piak dapat memperoleh keuntungan-keuntungan dari adanya pertukaran
tersebut.
Sebagai seorang ahli yang
berkecimpung dengan seputar patronase, Scott memang tidak secara langsung
memasukan hubungan patron klien dalam teori pertukaran. Meskipun demikian, jika
memperhatikan uraian mengenai gejala petronase, maka akan terlihat di dalam
unsur pertukaran yang merupakan bagian terpenting dari pola hubungan semacam
ini. Menurut pakar ilmu politik dari Universitas Yale Amerika Serikat, hubungan
patron klien berawal dari adanya pemberian barang atau jasa yang dapat dalam
berbagai bentuk yang sangat diperlukan oleh salah satu pihak bagi pihak, bagi
yang menerima berkewajiban untuk membalas pemberian tersebut.
Selanjutnya, agar dapat menjamin
kontinyuitas hubungan patron-klien antar pelaku yang terdapat di dalamnya, maka
barang atau jasa yang dipertukarkan harus seimbang. Hal tersebut mengartikan
bahwa reward atau cost yang dipertukarkan seharusnya kurang lebih atau sama
dengan nilainya dalam jangka panjang atau jangka pendek. Dengan demikian,
semangat untuk terus mempertahankan suatu keseimbangan yang memadai dalam
transaksi, pertukaran mengungkapkan suatu kenyataan bahwa keuangan yang
diberikan oleh orang lain harus dibalas.
Berdasarkan kenyataan ini, sekiranya
jika ada yang mengatakan bahwa hubungan semacam ini sering kali disebut juga
sebagai hubungan ‘induk semang-klien’,
dimana di dalamnya terjadi hubungan timbal balik. Pada umumnya, induk semang
adalah orang atau pihak yang memiliki kekuasaan dalam suatu masyarakat atau
komunitas dan harus memberi perlindungan atau pengayoman semaksimal mungkin
kepada klien-kliennya. Sedangkan sebaliknya, para klien harus membalas budi
baik yang telah diberikan induk semang dan melakukan pembelaan terhadap pihak
lain sebagai saingannya.
Untuk semakin menguatkan hal
tersebut, Gouldner mengatakan bahwa hubungan patron-klien adalah hubungan
timbal balik yang bersifat universal dengan memiliki dua unsur dasar. Kedua
unsur dasar tersebut adalah pihak yang dibantu seharusnya pihak yang membantu
menolak pihak yang dibantu dan tidak menyakiti pihak yang telah membantunya. Menurut
pakar ini, yang membedakan antara hubungan patron-klien dengan pemaksaan
(coercion) yang terjadi karena adanya wewenang formal atau formal authority.
Adanya norma timbal balik yang
melekat pada hubungan patron-klien pada gilirannya mengisyaratkan beberapa
fungsi. Di samping posisinya sebagai unsur pembentuk hubungan yang dinamakan
hubungan patron-klien, ia juga berfungsi sebagai pembeda dengan jenis hubungan lain
yang bersifat pemaksaan (coercion) atau hubungan karena adanya wewenang formal
(formal authority). Pertukaran barang atau jasa yang seimbang dalam hubungan patron-klien dapat mengarah
pada pertukaran yang tidak seimbang.
Pertukaran barang atau jasa yang
terjadi dalam relasi ini dikarenakan orang yang memiliki surplus pada
sumber-sumber atau sifat-sifat yang mampu memberikan reward cenderung untuk
menawarkan berbagai macam pelayanan atau hadiah secara sepihak. Dalam hal ini,
mereka dapat menikmati sejumlah besar reward yang berkembang dengan statusnya
yang lebih tinggi dari kekuasaan ataupun orang lain. Dengan ungkapan lain dapat
dikatakan bahwa orang yang selalu menerima kemurahan hati secara sepihak harus
menerima posisi sub-ordinasi yang berarti suruhan atau obyek.
Adanya perbedaan dalam transaksi
pertukaran barang atau jasa diakibatkan terdapatnya pihak yang berstatus
sebagai superior di satu sisi dan pihak yang berstatus sebagai inferior di sisi
lain berimplikasi pada terciptanya kewajiban untuk tunduk hingga pada
gilirannya memunculkan hubungan yang bersifat tidak setara (asimetris).
Hubungan semacam ini bila dilanjutkan dengan hubungan personal (non-kontraktual)
akan menjelma menjadi hubungan patron-klien. Oleh karena itu, Wolf menekankan
bahwa hubungan patron-klien bersifat vertikal antara seseorang atau pihak yang
mempunyai kedudukan sosial, politik dan ekonomi yang lebih tinggi dengan
seseorang atau pihak yang berkedudukan sosial, politik dan ekonominya lebih
rendah. Ikatan yang tidak simetris tersebut merupakan bentuk persahabatan yang
berat sebelah. Artinya cenderung kepada salah satu pihak.
Pendapat yang sama juga dikemukakan
oleh Scott, dimana seorang patron berposisi dan berfungsi sebagai pemberi terhadap
kliennya, sedangkan klien berposisi sebagai penerima segala sesuatu yang
diberikan oleh patronnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Scott yaitu:
“Dari beberapa pendapat yang
dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hubungan yang bernama
patron-klien, yaitu pertukaran barang atau jasa yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya yang memang diarahkan untuk tidak seimbang. Inilah
yang menjadi ciri khas dari sebuah hubungan patron-klien. Jika terjadi
sebaliknya, maka hubungan yang terjalin tersebut akan putus dengan sendirinya.
Hal ini dapat berarti bahwa dalam pertukaran barang atau jasa yang dilakukan
tersebut terdapat pihak yang dirugikan dan juga pihak yang diuntungkan”.
Meskipun demikian, pendapat yang
mengatakan bahwa pertukaran barang atau jasa yang terjadi dalam hubungan patron
klien adalah tidak seimbang dan tidak menguntungkan yang pada dasarnya
merupakan pandangan yang subyektif atau berdasarkan perspektif luar. Perspektif
semacam ini dikemukakan karena hubungan patronase terlalu diperhitungkan dan
dipertimbangkan secara ekonomis. Padahal jika diperhatikan secara lebih
mendalam akan ditemukan sebuah kenyataan bahwa bukankah hubungan tersebut tidak
akan terjadi kalau masing-masing pihak yang terlibat tidak diuntungkan. Atau
dalam ungkapan lain dapat dikatakan bahwa hubungan semacam ini dapat terus
berlangsung dalam kurun waktu yang lama karena para pelaku yang terlibat di
dalamnya mendapatkan keuntungan. Berkaitan dengan hal ini, menurut Legg
yaitu nilai dari suatu barang atau jasa
harus seimbang, dimana nilai barang atau jasa yang dipertukarkan tersebut
ditentukan oleh pelaku atau pihak yang melakukan pertukaran, dimana ketika
barang atau jasa tersebut semakin dibutuhkan maka ia akan semakin tinggi
nilainya.
Sebagai bentuk relasi antarmanusia
dan antarkelompok manusia yang bersifat sosial-kultural, ternyata dalam kenyataannya,
praktek patronase tak lepas dengan kepentingan ekonomi dan politik. Melalui
perlindungan yang diberikan, patron berharap mendapatkan dukungan ekonomi dan
politik secara langsung. Namun, jika
tidak mendapatkan apa-apa yang bersifat ekonomi dan politik dari kliennya, maka
patron tidak akan memberikan perlindungan apa pun.
Dalam kenyataan praksis, menurut
Levinson & Melvin Ember, hubungan patron-klien yang terlihat sebagai suatu
fakta sosial-kultural, dan hanya didasarkan pada perjanjian informal yang menjadi
pembungkus halus dari hubungan sosial, politik dan ekonomi yang diwarnai
ketidaksetaraan. Padahal, dalam hubungan yang diwarnai ketidaksetaraan peluang
untuk terjadinya eksploitasi menjadi sangat besar.
Seperti pola relasi lainnya, hal-hal yang membuatnya agar tetap tumbuh dan
berkembang, maka demikian pula dengan hubungan patron-klien yang banyak terjadi
dalam beragam aspek kehidupan manusia. Scott menyebutkan tiga faktor yang
menjadi penyebab tumbuh dan berkembangnya relasi patronase dalam suatu
komunitas, yaitu: ketimpangan pasar yang kuat dalam penguasaan kekayaan, status
dan kekuasaan yang banyak diterima sebagai sesuatu yang sah, ketiadaan jaminan
fisik, status dan kedudukan yang kuat dan bersifat personal serta
ketidakberdayaan kesatuan keluarga sebagai wahana yang efektif bagi keamanan
dan pengembangan diri. Berbeda dengan Scott, Einsenstadt dan Loniger mengatakan
bahwa keterbelakangan suatu komunitas bukanlah satu-satunya penyebab tumbuh dan
berkembangnya suatu relasi patronase. Lebih lanjut kedua pakar ini mengungkapkan
bahwa suatu masyarakat yang periphery-nya rendah sehingga sumberdayanya lebih
banyak dikuasai oleh pusat dan suatu masyarakat yang berdasarkan konsep
keagamaan di mana hanya kalangan tertentu saja yang dapat berhubungan dengan
alam transcendental memang sangat rentan ‘terjangkiti’ oleh relasi patronase.
Ciri-ciri politik
Patron Klien:
a.
Ketimpangan dalam pertukaran (patron
dalam posisi yang lebih kuat dari klien)
b.
Bersikap tatap muka (saling
mengenal, percaya, dll)
c.
Luwes dan meluas
0 komentar:
Posting Komentar