Relasi
Patron-Klien pada Partai Politik di Indonesia
Beberapa
bulan terakhir ini media massa banyak memberitakan mengenai penetapan seorang
pimpinan atau tokoh partai politik sebagai calon Presiden di 2014.
Melihat gejala ini, penulis mulai berpikir tentang “siapa yang akan memimpin
Indonesia selanjutnya?”. Antusias partai politik juga tampak sangat bergairah
menyusul tidak akan majunya kembali Presiden SBY di tahun 2014. Ini
mengindikasikan bahwa siapapun yang mencalonkan diri tidak akan memiliki lawan
yang “terlalu tangguh” seperti SBY. Setidaknya ini adalah berita baik buat
partai politik selain Partai Demokrat. Partai politik mulai “mempersiapkan
anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan
mekanisme demokrasi (UU Partai Politik Pasal 7)”. Sebuah implementasi dari
fungsi partai politik untuk mendorong demokrasi di negeri ini.
Tetapi,
bila kita coba melihat struktur organisasi di Partai Politik di Indonesia serta
bagaimana transformasi yang dijalani oleh mereka dalam dekade terakhir ini,
maka saya menjadi bertanya kembali, benarkah partai politik menyiapkan anggota
masyarakat untuk mengisi jabatan politik dan publik yang ada.
Ketika
pemilu 1999 dan sebelumnya, Indonesia hanya mengenal adanya Ketua Umum partai
politik sebagai jabatan tertinggi. Lalu saat pemilu 2004, Indonesia
diperkenalkan dengan skema Dewan Pembina, Dewan Kehormatan, dan Majelis Syuro
pada beberapa partai politik. Kini, kita bahkan mengenal Majelis Tinggi pada
sebuah partai politik. Jabatan ini seakan-akan hanya untuk mengakomodasi tokoh
sentral yang berada pada sebuah partai politik tersebut dan memastikan dirinya
tetap menjadi pucuk pimpinan dari sebuah partai politik.
Konsep
ini sama dengan apa yang dilakukan Lee Kwan Yew, mantan Perdana Menteri
Singapura yang menjadi Menteri Senior di era Goh Chok Tong dan kemudian
diangkat menjadi Menteri Mentor ketika anaknya menjadi Perdana Menteri di
Singapura. Pola ini seakan menegaskan bahwa Singapura adalah Lee Kwan Yew dan
Lee Kwan Yew adalah Singapura.
Begitu
pula dengan partai politik saat ini yang sangat kental dengan “identitas
individual atau keluarga”. Sebutlah Partai Demokrat yang identik dengan
keluarga Yudhoyono/Sarwo Edhie Wibowo, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
yang sangat melekat dengan keluarga “Soekarno”. Identitas Prabowo di Gerindra
serta Wiranto di Hanura pun tak bisa begitu saja dilepaskan. Pada partai yang
bertitel religius pun kondisi seperti ini terjadi, seperti Amien Rais di Partai
Amanat Nasional, Abdurrahman Wahid di PKB, dan Himi Aminuddin/Anis Matta di
PKS.
Dalam
teori kepemimpinan Max Weber (1920), mengungkapkan tentang “kharismatic
leadership”, konsep kepemimpinan tunggal yang mengakui seseorang memiliki
kemampuan, daya pengaruh, ideologi serta kekuatan untuk mampu mengikat dan
memastikan kelompok yang dipimpinnya selalu menjadikan dirinya sebagai rujukan
dan pengambil keputusan terakhir dan tertinggi. Konsep kepemimpinan ini sangat
cocok untuk kelompok yang berbasis kekeluargaan dan keagamaan. Seorang yang
dinilai sebagai Charismatic Leader ini dinilai sebagai superhuman, ia adalah
manusia terpilih yang memiliki kekuatan yang memang telah khusus diberikan
untuk dirinya.
Keberadaan charismatic leader ini membuat partai politik bukan lagi sebagai tempat yang terbuka dan menjadi kesempatan untuk siapapun dapat mengekspresikan pemikirannya dan mendapatkan kesempatan yang sama untuk memimpin. Melainkan telah bertransformasi menjadi sebuah ruang aktualisasi patron-klien yang sangat nyata.
Tokoh atau charismatic leader ini adalah sang patron, dan lingkar-lingkar terdekat adalah kliennya, dan para klien inti ini berperan sebagai patron untuk lingkar selanjutnya, dan begitu terus berkembang hingga hirarki di partai politik menjadi sangat berlapis (Jackson, 1981; Scott, 1993; Jarry, 1991 ) dan menjadi sangat sulit untuk ditembus oleh mereka yang tidak punya kedekatan kekeluargaan atau emosional dengan sang patron. Itu mengapa jangan heran bila saat ini kita dapat lihat di berbagai partai politik, anak-anak sang patron yang cenderung masih muda dan mentah dalam berpolitik telah ditempatkan di posisi strategis di partai politik. Merekalah para klientes utama yang akan menjadi patron selanjutnya.
Para
klientes utama ini berusaha untuk terus memastikan posisinya kepada sang patron
dan terus berusaha untuk memikat hati para klien-klien yang lain. Para klien
lain tentu sadar bahwa masa depan mereka sangat ditentukan oleh sang Klientes
utama. Mereka dijamin tidak akan mendapatkan posisi atau kekuasaan lain bila
tidak terus “mendekat” dan “memikat” sang klientes utama.
Machiavelli
(1513) dalam bukunya Il Principe menuliskan dengan sangat gamblang tentang
relasi patron-klien ini sebagai sebuah upaya dari sang penguasa untuk melestarikan
kekuasaannya. “…seorang penguasa yang bijaksana harus membangun kekuasaannya
berdasarkan apa yang ia sendiri kuasanya dan bukan berdasarkan apa yang orang
lain kuasai; ia harus berusaha agar ia tidak dibenci, seperti yang telah
dicatat…..”. teori Machiavelli ini sangat dikenal seantero dunia dan telah
menjadi rujukan dari banyak penguasa dunia untuk memastikan diri dan
keluarganya dapat berkuasa untuk jangka panjang. Beberapa contoh nyata di dunia
modern saat ini adalah Monarki Saudi Arabia, Keluarga Kim Jong Il di Korea
Utara dan Klan Qaddafi di Libya.
Lebih
lanjut Machiavelli juga menjelaskan bagaimana ulah para klien untuk memastikan
mereka tetap dalam ikatan sang penguasa atau sang patron atau sang charismatic
leader. “…Sudahlah hal yang lumrah bagi mereka yang ingin memenangkan hati
seorang Pangeran harus menawarkan kepadanya hadiah-hadiah yang merupakan harta
mereka yang paling berharga, harta yang mereka ketahui akan disukai sang
Pangeran…”
Dampak
Relasi Patron Klien terhadap Pembelajaran Demokrasi
Penulis melihat setidaknya terdapat 3 dampak dari relasi patron-klien ini terhadap pembelajaran demokrasi di Indonesia. Dampak ini bisa jadi belum cukup dirasakan oleh masyarakat Indonesia secara langsung, namun bila tidak ada mekanisme untuk mengubah pola relasi ini dengan segera, maka akan ada kemungkinan Demokrasi di Indonesia kembali mengalami kemunduruan di masa datang. Dampak-dampat yang terjadi antara lain :
Penulis melihat setidaknya terdapat 3 dampak dari relasi patron-klien ini terhadap pembelajaran demokrasi di Indonesia. Dampak ini bisa jadi belum cukup dirasakan oleh masyarakat Indonesia secara langsung, namun bila tidak ada mekanisme untuk mengubah pola relasi ini dengan segera, maka akan ada kemungkinan Demokrasi di Indonesia kembali mengalami kemunduruan di masa datang. Dampak-dampat yang terjadi antara lain :
1.
Lemahnya kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan politik di Indonesia
Berbagai diskursus mengenai lemahnya kaderisasi dan regenerasi kepemipinan politik di Indonesia terus mencuat dalam beberapa bulan terakhir ini. Komentar sinis ini lahir menyusul munculnya calon Presiden berusla lanjut dari beberapa partai politik. Pertanyaannya, “kemana yang muda?”. Bukankah kita telah melihat di media tentang keberadaan politisi muda yang memiliki kapasitas dan integritas. Namun mengapa mereka tidak yang dijadikan sebagai figur pemimpin politik bangsa. Anekdot berikut mungkin cocok untuk menjawab pertanyaan tersebut, “yang muda tidak akan berkuasa karena mereka tidak memiliki nama belakang yudhoyono, wahid, atau soekarnoputra/putri”.
Bila melihat sistem kaderisasi, tidak banyak partai politik yang benar-benar menyiapkan kaderisasi bagi anggota dan calon anggota. Kurikulum dan jenjang kaderisasi yang mapan seharusnya yang melandasi alur kaderisasi dan regenerasi sebuah partai politik. Sehingga seorang yang memang sudah memenuhi kapasitasnya layak mendapatkan tanggung jawab publik dan politik yang di fasilitasi oleh partai politik. Relasi patron-klien telah merusak konsep kaderisasi partai dan membuat arena kompetisi pemimpin muda terhambat. Bobroknya sistem kaderisasi dan regenerasi ini diperparah dengan fenomena “kutu loncat” yang sedang menjadi trend tersendiri dalam bursa “transfer” politisi di Indonesia.
Partai Golongan Karya yang saat pemilu 2004 membuat gebrakan baru dalam demokrasi, yakni dengan diadakannya sebuah konvensi di internal partai, akan tetapi budaya pembelajaran demokrasi yang positif tersebut dihapusnya dengan alasan tidak efektif.
Merujuk kembali ke era Romawi kuno, saat demokrasi sedang dikembangkan, dikenal seorang Negarawan yang pandai berorasi dan memiliki kapasitas politik yang besar, meski dirinya belum begitu dikenal oleh banyak orang saat itu, ia membuktikan kualitasnya dalam ajang pemilihan yang terbuka dan kompetitif. Negarawan muda ini memenangkan suara mutlak dan menjadikan dirinya sebagai Konsul di Romawi Kuno pada usia 27 Tahun. Sosok itu bernama Marcus Tullius Cicero.
Berbagai diskursus mengenai lemahnya kaderisasi dan regenerasi kepemipinan politik di Indonesia terus mencuat dalam beberapa bulan terakhir ini. Komentar sinis ini lahir menyusul munculnya calon Presiden berusla lanjut dari beberapa partai politik. Pertanyaannya, “kemana yang muda?”. Bukankah kita telah melihat di media tentang keberadaan politisi muda yang memiliki kapasitas dan integritas. Namun mengapa mereka tidak yang dijadikan sebagai figur pemimpin politik bangsa. Anekdot berikut mungkin cocok untuk menjawab pertanyaan tersebut, “yang muda tidak akan berkuasa karena mereka tidak memiliki nama belakang yudhoyono, wahid, atau soekarnoputra/putri”.
Bila melihat sistem kaderisasi, tidak banyak partai politik yang benar-benar menyiapkan kaderisasi bagi anggota dan calon anggota. Kurikulum dan jenjang kaderisasi yang mapan seharusnya yang melandasi alur kaderisasi dan regenerasi sebuah partai politik. Sehingga seorang yang memang sudah memenuhi kapasitasnya layak mendapatkan tanggung jawab publik dan politik yang di fasilitasi oleh partai politik. Relasi patron-klien telah merusak konsep kaderisasi partai dan membuat arena kompetisi pemimpin muda terhambat. Bobroknya sistem kaderisasi dan regenerasi ini diperparah dengan fenomena “kutu loncat” yang sedang menjadi trend tersendiri dalam bursa “transfer” politisi di Indonesia.
Partai Golongan Karya yang saat pemilu 2004 membuat gebrakan baru dalam demokrasi, yakni dengan diadakannya sebuah konvensi di internal partai, akan tetapi budaya pembelajaran demokrasi yang positif tersebut dihapusnya dengan alasan tidak efektif.
Merujuk kembali ke era Romawi kuno, saat demokrasi sedang dikembangkan, dikenal seorang Negarawan yang pandai berorasi dan memiliki kapasitas politik yang besar, meski dirinya belum begitu dikenal oleh banyak orang saat itu, ia membuktikan kualitasnya dalam ajang pemilihan yang terbuka dan kompetitif. Negarawan muda ini memenangkan suara mutlak dan menjadikan dirinya sebagai Konsul di Romawi Kuno pada usia 27 Tahun. Sosok itu bernama Marcus Tullius Cicero.
Kisah
Cicero yang dituliskan dengan sangat mengalir oleh Robert Harris (2008) dalam
bukunya berjudul Imperium bisa jadi akan sangat sulit kita temui di Indonesia.
Mereka yang muda bila tidak di dukung oleh Patron atau memiliki modal besar,
tidak akan mungkin mengisi jabatan politik dan publik tertentu. Atau bisa jadi,
memang tidak ada kompetisi yang memungkinkan politisi dan negarawan muda untuk
membuktikan kapasitasnya.
2.
Matinya demokrasi berbasis gagasan dan berkembangnya demokrasi pencitraan
dan transaksional
Relasi-patron klien telah mendorong mundurnya demokrasi dan politik gagasan diantara masyarakat dan politisi muda melalui ditutupnya keran mobilisasi vertikal melalui kompetisi yang berimbang bagi para anggota. Mereka yang dekat dengan Patron dan pusat kekuasaan akan mendapatkan akses pertama. Kondisi ini membuat para politisi muda tidak lagi bertarung dengan gagasan yang murni, melainkan dipenuhi dengan bumbu pencitraan dan transaksional.
Lahirnya money politics sebagai manisfestasi politik transaksional adalah pola yang terjadi saat ini di Indonesia. Bukan hanya partai politik, beberapa organisasi kepemudaan yang seharusnya juga menjadi pembelajaran demokrasi gagasan juga berubah menjadi praktek demokrasi transaksional. Politik transaksional ini tentu sangat merusak tatanan demokrasi, politik dan ekonomi di sebuah negara, karena perencanaan, pembangunan dan tata pemerintahan tidak lagi ditentukan oleh dialekta intelektual, melainkan dengan “dagang sapi” dan “potong kue” yang dilakukan oleh para elit.
Dikaitkan kembali dengan buku Imperium (2008), Cicero saat itu melewati berbagai tantangan besar hingga fitnah besar terhadap dirinya dari para aristokrat Romawi yang merupakan klientes utama. Bahkan sang Patron Julius Caesar juga menjadi lawan politiknya saat itu, namun Cicero yang dicintai rakyat berjuang keras dan dengan berani membongkar persekongkolan untuk melucuti kekuatan demokrasi. Keberanian inilah yang membuat dirinya dipercaya oleh 193 centuria (kelompok/kubu/faksi) di Romawi untuk menjadi Konsul mereka.
Relasi-patron klien telah mendorong mundurnya demokrasi dan politik gagasan diantara masyarakat dan politisi muda melalui ditutupnya keran mobilisasi vertikal melalui kompetisi yang berimbang bagi para anggota. Mereka yang dekat dengan Patron dan pusat kekuasaan akan mendapatkan akses pertama. Kondisi ini membuat para politisi muda tidak lagi bertarung dengan gagasan yang murni, melainkan dipenuhi dengan bumbu pencitraan dan transaksional.
Lahirnya money politics sebagai manisfestasi politik transaksional adalah pola yang terjadi saat ini di Indonesia. Bukan hanya partai politik, beberapa organisasi kepemudaan yang seharusnya juga menjadi pembelajaran demokrasi gagasan juga berubah menjadi praktek demokrasi transaksional. Politik transaksional ini tentu sangat merusak tatanan demokrasi, politik dan ekonomi di sebuah negara, karena perencanaan, pembangunan dan tata pemerintahan tidak lagi ditentukan oleh dialekta intelektual, melainkan dengan “dagang sapi” dan “potong kue” yang dilakukan oleh para elit.
Dikaitkan kembali dengan buku Imperium (2008), Cicero saat itu melewati berbagai tantangan besar hingga fitnah besar terhadap dirinya dari para aristokrat Romawi yang merupakan klientes utama. Bahkan sang Patron Julius Caesar juga menjadi lawan politiknya saat itu, namun Cicero yang dicintai rakyat berjuang keras dan dengan berani membongkar persekongkolan untuk melucuti kekuatan demokrasi. Keberanian inilah yang membuat dirinya dipercaya oleh 193 centuria (kelompok/kubu/faksi) di Romawi untuk menjadi Konsul mereka.
Indonesia
saat ini menantang para politisi muda untuk dapat menjadi Cicero-nya nusantara
dengan berani melawan kebuntuan demokrasi di Indonesia dengan cara yang elegan.
Kemampuan dan keberanian para pemuda Indonesia untuk melahirkan dan menumbuhkembangkan
politik gagasan akan sangat menentukan masa depan kualitas demokrasi di
Indonesia. Pemilu 2014 adalah momen yang sangat prospektif bagi pemuda dan
politis muda untuk menyatukan potensinya dan membuktikan bahwa mereka dicintai
dan mencintai rakyat Indonesia, perlu kita ingat bersama bahwa Ir Soekarno
menjadi Presiden negeri ini saat usia 44 tahun.
3.
Masyarakat menjadi komoditas demokrasi praktis
Lagi-lagi masyarakat selalu menjadi korban dari demokrasi yang tidak berkualitas di Indonesia. Relasi patron-klien telah menjadikan masyarakat sebagai komoditas yang diperjual belikan oleh para politisi untuk meraih kekuasaannya. Masyarakat pun tidak lagi memilih pemimpin negeri atas dasar kapasitas dan integritas, melainkan dengan hanya pertimbangkan pencitraan dan juga istilah “wani piro?” atau berani bayar berapa untuk sebuah suara masyarakat.
Lagi-lagi masyarakat selalu menjadi korban dari demokrasi yang tidak berkualitas di Indonesia. Relasi patron-klien telah menjadikan masyarakat sebagai komoditas yang diperjual belikan oleh para politisi untuk meraih kekuasaannya. Masyarakat pun tidak lagi memilih pemimpin negeri atas dasar kapasitas dan integritas, melainkan dengan hanya pertimbangkan pencitraan dan juga istilah “wani piro?” atau berani bayar berapa untuk sebuah suara masyarakat.
Masyarakat
pun tak punya banyak pilihan untuk mempertimbangkan sebuah keputusan politik
bagi dirinya dalam berkontribusi untuk masa depan bangsa. Ia hanya dihadapi
pada pilihan “uang” dan “citra”, bukan pilihan yang memberikan pembelajaran
demokrasi bagi masyarakat. Sehingga mereka melihat demokrasi sebagai sebuah
kesempatan untuk mendapatkan kaos baru, spanduk untuk alas tidur, makan siang
gratis hingga bagi-bagi uang untuk melanjutkan hidup.
Apakah
masyarakat dapat disalahkan dalam hal ini ? tentu tidak, karena memang itulah
yang mereka dapatkan dari suguhan demokrasi yang dihidangkan oleh para penguasa
yang mengklaim diri mereka sebagai wakil rakyat yang negarawan. Proses seperti
ini bukan lagi sebuah pembelajaran demokrasi melainkan pembodohan demokrasi.
Masyarakat bisa jadi kini tidak mengetahui indikator bagaimana demokrasi yang
berkualitas seharusnya dijalankan. Ketiadaan komparasi ini membuat para patron
dan klien nya dengan sangat leluasa memainkan irama demokrasi sesuai dengan
kebutuhan mereka. Pada akhirnya rakyat yang selalu menjadi korban dari
kesalahan pengelolaan sebuah negara.
Demokrasi
Ala Indonesia
Mengakhiri
tulisan ini, penulis tentu berharap adanya upaya yang dapat dilakukan oleh
negarawan muda Indonesia untuk memutus tali relasi patron-klien dalam tubuh
partai politik untuk kembali membangun demokrasi yang berkualitas bagi negeri
ini. Demokrasi yang berkualitas tidak perlulah mengikuti atau menduplikasi
konsep demokrasi yang berada di negara lain. Demokrasi di Amerika dan Singapura
belum tentu cocok dengan demokrasi di Indonesia. Dosen penulis, Adenantara
Dwicaksono, mengungkapkan “…demokrasi seperti sebuah tumbuhan, ia berkembang
sesuai dengan lingkungan dan tanah tempat ia berada. Sebagai contoh Ubi Cilembu
yang dapat berkembang dengan baik bila ditanam di Cilembu, begitu pula
demokrasi yang akan menemukan pola dan skema masing-masing di negara yang
berbeda…”.